Poin yang mereka tolak ada pada pasal 5 ayat 4 yang mengatur batas minimal penggunaan dana desa (DD) untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) minimal 40 persen.
“Memperkuat indikator kinerja di desa itu seperti pengurangan beban warga terdampak Covid-19, bukan menentukan penggunaan anggarannya,” sambungnya.
Dakhlan menyebut, tujuan menentuan batas minimal alokasi DD untuk BLT sebenarnya memiliki tujuan yang bagus untuk menangani dampak sosial ekonomi Covid-19 di tingkat desa.
Namun, pihaknya menyayangkan mekanisme pengaturan yang seperti tertuang dalam Perpres 104/2021.
Aturan minimal 40 persen DD untuk BLT juga berpotensi memunculkan masalah lain.
“Misalnya, (warga yang butuh BLT) tidak sampai 40 persen, tapi karena di peraturan minimal 40 persen, akhirnya dicari-carikan penerima nanti. Menurut saya, aturannya tidak harus membatasi atau menentukan berapa jumlahnya. Tapi berdasarkan kebutuhan desa,” tuturnya.
Fitra Jatim juga melihat, gejolak penolakan oleh kades dan perangkat desa tak hanya terjadi di Kabupaten Trenggalek.
“Di beberapa daerah memang ada penolakan. Menurut kami, pemerintah pusat harus memikirkan kembali, atau mereview Perpres 104/2021,” tuturnya.